CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Sabtu, 21 Maret 2009

KEHIDUPAN

Engkau dibisiki bahwa hidup adalah kegelapan
Dan dengan penuh ketakutan
Engkau sebarkan apa yang telah dituturkan padamu
penuh kebimbangan

Kuwartakan padamu bahwa hidup adalah kegelapan
jika tidak diselimuti oleh kehendak
Dan segala kehendak akan buta bila tidak diselimuti pengetahuan
Dan segala macam pengetahuan akan kosong
bila tidak diiringi kerja
Dan segala kerja hanyalah kehampaan
kecuali disertai cinta

Maka bila engkau bekerja dengan cinta
Engkau sesungguhnya tengah menambatkan dirimu
Dengan wujudnya kamu, wujud manusia lain
Dan wujud Tuhan.

KATA SELEMBAR KERTAS SEPUTIH SALJU

Kata selembar kertas seputih salju,"Aku tercipta secara murni, karena itu aku akan tetap murni selamanya. Lebih baik aku dibakar dan kembali menjadi abu putih daripada menderita karena tersentuh kegelapan atau didekati oleh sesuatu yang kotor."

Tinta botol mendengar kata kertas itu. Ia tertawa dalam hatinya yang hitam, tapi tak berani mendekatinya. Pensil-pensil beraneka warna pun mendengarnya, dan mereka pun tak pernah mendekatinya. Dan selembar kertas yang seputih salju itu tetap suci dan murni selamanya -suci dan murni- dan kosong.

KASIH SAYANG DAN PERSAMAAN

Sahabatku yang papa, jika engkau mengetahui, bahwa Kemiskinan yang membuatmu sengsara itu mampu menjelaskan pengetahuan tentang Keadilan dan pengertian tentang Kehidupan, maka engkau pasti berpuas hati dengan nasibmu.
Kusebut pengetahuan tentang Keadilan : Karena orang kaya terlalu sibuk mengumpulkan harta untuk mencari pengetahuan. Dan kusebut pengertian tentang Kehidupan : Karena orang yang kuat terlalu berhasrat mengejar kekuatan dan keagungan bagi menempuh jalan kebenaran.

Bergembiralah, sahabatku yang papa, kerana engkau merupakan penyambung lidah Keadilan dan Kitab tentang Kehidupan. Tenanglah, karana engkau merupakan sumber kebajikan bagi mereka yang memerintah terhadapmu, dan tiang kejujuran bagi mereka yang membimbingmu.

Jika engkau menyadari, sahabatku yang papa, bahwa malang yang menimpamu dalam hidup merupakan kekuatan yang menerangi hatimu, dan membangkitkan jiwamu dari ceruk ejekan ke singgasana kehormatan, maka engkau akan merasa berpuas hati kerana pengalamanmu, dan engkau akan memandangnya sebagai pembimbing, serta membuatmu bijaksana.

Kehidupan ialah suatu rantai yang tersusun oleh banyak mata rantai yang berlainan. Duka merupakan salah satu mata rantai emas antara penyerahan terhadap masa kini dan harapan masa depan. Antara tidur dan jaga, di luar fajar merekah.

Sahabatku yang papa, Kemiskinan menyalakan api
keagungan jiwa, sedangkan kemewahan memperlihatkan keburukannya. Duka melembutkan perasaan, dan Suka mengubati hati yang luka. Bila Duka dan kemelaratan dihilangkan, jiwa manusia akan menjadi batu tulis yang kosong, hanya memperlihatkan kemewahan dan kerakusan.

Ingatlah, bahawa keimanan itu adalah pribadi sejati Manusia. Tidak dapat ditukar dengan emas; tidak dapat dikumpul seperti harta kekayaan. Mereka yang mewah sering meminggirkan keimananan, dan mendekap erat emasnya.

Orang muda sekarang jangan sampai meninggalkan Keimananmu, dan hanya mengejar kepuasan diri dan kesenangan semata. Orang-orang papa yang
kusayangi, saat bersama isteri dan anak sekembalinya dari ladang merupakan waktu yang paling mesra bagi keluarga, sebagai lambang kebahagiaan bagi takdir angkatan yang akan datang. Tapi hidup orang yang senang bermewah-mewahan dan mengumpul emas, pada hakikatnya seperti hidup cacing di dalam kuburan. Itu menandakan ketakutan.

Air mata yang kutangiskan, wahai sahabatku yang papa, lebih murni daripada tawa ria orang yang ingin melupakannya, dan lebih manis daripada ejekan seorang pencemooh. Air mata ini membersihkan hati dan kuman benci, dan mengajar manusia ikut merasakan pedihnya hati yang patah.

Benih yang kautaburkan bagi si kaya, dan akan kau tuai nanti, akan kembali pada sumbernya, sesuai dengan Hukum Alam. Dan dukacita yang kausandang, akan dikembalikan menjadi sukacita oleh kehendak Syurga. Dan angkatan mendatang akan mempelajari Dukacita dan Kemelaratan sebagai pelajaran tentang Kasih Sayang dan Persamaan.

(Dari 'Suara Sang Guru')

INDAHNYA KEMATIAN

Bagian 1 ~ Panggilan

Biarkan aku terbaring dalam lelapku, karena jiwa ini telah dirasuki cinta, dan biarkan aku istirahat, karena batin ini memiliki segala kekayaan malam dan siang.
Nyalakan lilin-lilin dan bakarlah dupa nan mewangi di sekeliling ranjang ini, dan taburi tubuh ini dengan wangian melati serta mawar.
Minyakilah rambut ini dengan puspa dupa dan olesi kaki-kaki ini dengan wangian, dan bacalah isyarat kematian yang telah tertulis jelas di dahi ini.
Biarku istirahat di ranjang ini, karena kedua bola mata ini telah teramat lelahnya;
Biar sajak-sajak bersalut perak bergetaran dan menyejukkan jiwaku;
Terbangkan dawai-dawai harpa dan singkapkan tabir lara hatiku.

Nyanyikanlah masa-masa lalu seperti engkau memandang fajar harapan dalam mataku, karena makna ghaibnya begitu lembut bagai ranjang kapas tempat hatiku berbaring.
Hapuslah air matamu, saudaraku, dan tegakkanlah kepalamu seperti bunga-bunga menyemai jari-jemarinya menyambut mahkota fajar pagi.
Lihatlah Kematian berdiri bagai kolom-kolom cahaya antara ranjangku dengan jarak keabadian;
Tahanlah nafasmu dan dengarkan kibaran kepak sayap-sayapnya.
Dekatilah aku, dan ucapkanlah selamat tinggal buatku. Ciumlah mataku dengan seulas senyummu.
Biarkan anak-anak merentang tangan-tangan mungilnya buatku dengan kelembutan jemari merah jambu mereka;
Biarkanlah Masa meletakkan tangan lembutnya di dahiku dan memberkatiku;
Biarkanlah perawan-perawan mendekati dan melihat bayangan Tuhan dalam mataku, dan mendengar Gema Iradat-Nya berlarian dengan nafasku....

IBU

Ibu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir - bibir manusia.
Dan "Ibuku" merupakan sebutan terindah.
Kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa.

Ibu adalah segalanya. Ibu adalah penegas kita di kala lara, impian kita dalam sengasara, rujukan kita di kala nista.
Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi. Siapa pun yang kehilangan ibunya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa
merestui dan memberkatinya.

Alam semesta selalu berbincang dalam bahasa ibu. Matahari sebagai ibu bumi yang menyusuinya melalui panasnya.
Matahari tak akan pernah meninggalkan bumi sampai malam merebahkannya dalam lentera ombak, syahdu tembang burung-burung dan sungai-sungai.

Bumi adalah ibu pepohonan dan bunga-bunga. Bumi menumbuhkan, menjaga dan membesarkannya. Pepohonan
dan bunga-bunga adalah ibu yang tulus memelihara bebuahan dan bebijian.

Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua wujud.
Penuh cinta dan kedamaian.

HIDUP

Kehidupan merupakan sebuah pulau di lautan kesepian, dan bagi pulau itu bukti karang yang timbul merupakan harapan, pohon merupakan impian, bunga merupakan keheningan perasaan, dan sungai merupakan damba kehausan.
Hidupmu, wahai saudara-saudaraku, laksana pulau yang terpisah dari pulau dan daerah lain. Entah berapa banyak kapal yang bertolak dari pantaimu menuju wilayah lain, entah berapa banyak armada yang berlabuh di pesisirmu, namun engkau tetap pulau yang sunyi, menderita kerana pedihnya sepi dan dambaan terhadap kebahagiaan. Engkau tak dikenal oleh sesama insan, lagi pula terpencil dari keakraban dan perhatian.
Saudaraku, kulihat engkau duduk di atas bukit emas serta menikmati kekayaanmu -bangga akan hartamu, dan yakin bahwa setiap genggam emas yang kau kumpulkan merupakan mata rantai yang menghubungkan hasrat dan pikiran orang lain dengan dirimu.
Di mata hatiku engkau kelihatan bagaikan panglima besar yang memimpin bala tentara, hendak menggempur benteng musuh. Tapi setelah kuamati lagi, yang nampak hanya hati hampa belaka, yang tertempel di balik longgok emasmu, bagaikan seekor burung kehausan dalam sangkar emas dengan wadah air yang kosong.
Kulihat engkau, saudaraku, duduk di atas singgasana agung; di sekelilingmu berdiri rakyatmu yang memuji-muji keagunganmu, menyanyikan lagu penghormatan bagi karyamu yang mengagumkan, memuji kebijaksanaanmu, memandangmu seakan-akan nabi yang mulia, bahkan jiwa mereka melambung kesukaan sampai ke langit-langit angkasa.
Dan ketika engkau memandang kelilingmu, terlukislah pada wajahmu kebahagiaan, kekuasaan, dan kejayaan, seakan-akan engkau adalah nyawa bagi raga mereka.
Tapi bila kupandang lagi, kelihatan engkau seorang diri dalam kesepian, berdiri di samping singgasanamu, menadahkan tangan ke segala arah, seakan-akan memohon belas kasihan dan pertolongan dari roh-roh yang tak nampak -mengemis perlindungan, karena tersisih dari persahabatan dan kehangatan persaudaraan.
Kulihat dirimu, saudaraku, yang sedang mabuk asmara pada wanita jelita, menyerahkan hatimu pada paras kecantikannya. Ketika kulihat ia memandangmu dengan kelembutan dan kasih keibuan, aku berkata dalam hati, "Terpujilah Cinta yang mampu mengisi kesepian pria ini dan mengakrabkan hatinya dengan hati manusia lain."
Namun, bilamana kuamati lagi, di sebalik hatimu yang bersalut cinta terdapat hati lain yang kesunyian, meratap hendak menyatakan cintanya pada wanita; dan di sebalik jiwamu yang sarat cinta, terdapat jiwa lain yang hampa, bagaikan awan yang mengembara, menjadi titik-titik air mata kekasihmu...

Hidupmu, wahai saudaraku, merupakan tempat tinggal sunyi yang terpisah dari wilayah penempatan orang lain, bagaikan ruang tengah rumah yang tertutup dari pandangan mata tetangga. Seandainya rumahmu tersalut oleh kegelapan, sinar lampu tetanggamu tak dapat masuk meneranginya. Jika kosong dari persediaan kemarau, isi gudang tetanggamu tak dapat mengisinya. Jika rumahmu berdiri di atas gurun, engkau tak dapat memindahkannya ke halaman orang lain, yang telah diolah dan ditanami oleh tangan orang lain. Jika rumahmu berdiri di atas puncak gunung, engkau tak dapat memindahkannya atas lembah, karena lerengnya tak dapat ditempuh oleh kaki manusia.
Kehidupanmu, saudaraku, dibaluti oleh kesunyian, dan jika bukan karena kesepian dan kesunyian itu, engkau bukanlah engkau, dan aku bukanlah aku. Jika bukan karena kesepian dan kesunyian itu, aku akan percaya kiranya aku memandang wajahmu, itulah wajahku sendiri yang sedang memandang cermin.

(Dari 'Suara Sang Guru')

GURU

Barangsiapa mau menjadi guru,
biarkan dia memulai mengajar dirinya sendiri
sebelum mengajar orang lain,
dan biarkan dia mengajar dengan teladan sebelum mengajar dengan kata-kata.
Sebab mereka yang mengajar dirinya sendiri dengan membetulkan perbuatan-perbuatannya sendiri
lebih berhak atas penghormatan dan kemuliaan
daripada mereka yang hanya mengajar orang lain
dan membetulkan perbuatan-perbuatan orang lain.

PIKIRAN DAN SAMADI

Hidup menjemput dan melantunkan kita dari satu tempat ke tempat yang lain; Nasib memindahkan kita dari satu tahap ke tahap yang lain. Dan kita yang diburu oleh keduanya, hanya mendengar suara yang mengerikan, dan hanya melihat susuk yang menghalangi dan merintangi jalan kita.

Keindahan menghadirkan dirinya dengan duduk di atas singgasana keagungan; tapi kami mendekatinya atas dorongan Nafsu ; merenggut mahkota kesuciannya, dan mengotori busananya dengan tindak laku durhaka.

Cinta lalu di depan kita, berjubahkan kelembutan ; tapi kita lari ketakutan, atau bersembunyi dalam kegelapan, atau ada pula yang malahan mengikutinya, untuk berbuat kejahatan atas namanya.

Meskipun orang yang paling bijaksana terbongkok karena memikul beban Cinta, tapi sebenarnya beban itu seiringan bayu pawana Lebanon yang berpuput riang.

Kebebasan mengundang kita pada mejanya agar kita menikmati makanan lezat dan anggurnya ; tapi bila kita telah duduk menghadapinya, kita pun makan dengan lahap dan rakus.

Tangan Alam menyambut hangat kedatangan kita, dan menawarkan pula agar kita menikmati keindahannya ; tapi kita takut akan keheningannya, lalu bergegas lari ke kota yang ramai, berhimpit-himpitan seperti kawanan kambing yang lari ketakutan dari serigala garang.

Kebenaran memanggil-manggil kita di antara tawa anak-anak atau ciuman kekasih, tapi kita menutup pintu keramahan baginya, dan menghadapinya bagaikan musuh.

Hati manusia menyeru pertolongan ; jiwa manusia memohon pembebasan ; tapi kita tidak mendengar teriak mereka, karena kita tidak membuka telinga dan berniat memahaminya. Namun orang yang mendengar dan memahaminya kita sebut gila lalu kita tinggalkan.

Malampun berlalu, hidup kita lelah dan kurang waspada, sedang hari pun memberi salam dan merangkul kita. Tapi di siang dan malam hari, kita sentiasa ketakutan.

Kita amat terikat pada bumi, sedangkan gerbang Tuhan terbuka lebar. Kita memijak-mijak roti Kehidupan, sedangkan kelaparan memamah hati kita. Sungguh betapa budiman Sang Hidup terhadap Manusia, namun betapa jauh Manusia meninggalkan Sang Hidup.

DUA PUISI

Berabad-abad yang lalu, di suatu jalan menuju Athena, dua orang penyair bertemu. Mereka mengagumi satu sama lain. Salah seorang penyair bertanya, "Apa yang kau ciptakan akhir-akhir ini, dan bagaimana dengan lirikmu?"

Penyair yang seorang lagi menjawab dengan bangga, "Aku tidak melakukan hal lain selain menyelesaikan syairku yang paling indah, kemungkinan merupakan syair yang paling hebat yang pernah ditulis di Yunani. Isinya pujian tentang Zeus yang Mulia."

Lalu dia mengambil selembar kulit dari balik jubahnya dan berkata, "Ke mari, lihatlah, syair ini kubawa, dan aku senang bila dapat membacakannya untukmu. Ayo, mari kita duduk berteduh di bawah pohon cypress putih itu."

Lalu penyair itu membacakan syairnya. Syair itu panjang sekali.

Setelah selesai, penyair yang satu berkata, "Itu syair yang indah sekali. Syair itu akan dikenang berabad-abad dan akan membuat engkau masyhur."

Penyair pertama berkata dengan tenang, "Dan apa yang telah kau ciptakan akhir-akhir ini?"

Penyair kedua menjawab, "Aku hanya menulis sedikit. Hanya delapan baris untuk mengenang seorang anak yang bermain di kebun." Lalu ia membacakan syairnya.

Penyair pertama berkata, "Boleh tahan, boleh tahan."

Kemudian mereka berpisah.

Sekarang, setelah dua ribu tahun berlalu, syair delapan baris itu dibaca di setiap lidah, diulang-ulang, dihargai dan selalu dikenang. Dan walaupun syair yang satu lagi memang benar bertahan berabad-abad lamanya dalam perpustakaan, di rak-rak buku, dan walaupun syair itu dikenang, namun tidak ada yang tertarik untuk menyukainya atau membacanya.

DUA KEINGINAN

Di keheningan malam, Sang Maut turun dari hadirat Tuhan menuju ke bumi. Ia terbang melayang-layang di atas sebuah kota dan mengamati seluruh penghuni dengan tatapan matanya. Ia menyaksikan jiwa-jiwa yang melayang-layang dengan sayap-sayap mereka, dan orang-orang yang terlena di dalam kekuasaan sang lelap.
Ketika rembulan tersungkur kaki langit, dan kota itu berubah warna menjadi hitam legam, Sang Maut berjalan dengan langkah tenang di tengah pemukiman -- berhati-hati tidak menyentuh apapun -- sampai tiba di sebuah istana. Dia masuk dan tak seorang pun kuasa menghalangi. Dia tegak di sisi sebuah ranjang dan menyentuh pelupuk matanya, dan orang yang tidur itu bangun dengan ketakutan.

Melihat bayangan Sang Maut di hadapannya, dia menjerit dengan suara ketakutan, "Menyingkirlah kau dariku, mimpi yang mengerikan! Pergilah engkau makhluk jahat! Siapakah engkau ini? Dan bagaimana mungkin kau masuk istana ini? Apa yang kau inginkan? Minggatlah, karena akulah empunya rumah ini. Enyahlah kamu, kalau tidak, kupanggil para budak dan para pengawal untuk mencincangmu menjadi kepingan!"

Kemudian Maut berkata dengan suara lembut, tapi sangat menakutkan, "Akulah kematian, berdiri dan membungkuklah kepadaku."

Dan si kaya berkuasa itu bertanya, "Apa yang kau inginkan dariku sekarang, dan benda apa yang kau cari? Kenapa kau datang ketika pekerjaanku belum selesai? Apa yang kau inginkan dari orang kuat seperti aku? Pergilah sana, carilah orang-orang yang lemah, dan ambillah dia! Aku ngeri oleh taring-taringmu yang berdarah dan wajahmu yang bengis, dan mataku bergetar menatap sayap-sayapmu yang menjijikan dan tubuhmu yang memuakkan."

Setelah diam beberapa saat dan tersadar dari ketakutannya, ia menambahkan, "Tidak, tidak, Maut yang pengampun, jangan pedulikan apa yang telah kukatakan, karena rasa takut membuat diriku mengucapkan kata-kata yang sesungguhnya terlarang. Maka ambillah emasku seperlunya atau nyawa salah seorang dari budak, dan tinggalkanlah diriku... Aku masih memperhitungkan kehidupan yang masih belum terpenuhi dan kekayaan pada orang-orang yang belum terkuasai. Di atas laut aku memiliki kapal yang belum kembali ke pelabuhan, dan pada hasil bumi yang belum tersimpan. Ambillah olehmu barang yang kau inginkan dan tinggalkanlah daku. Aku punya selir, cantik bagai pagi hari, untuk kau pilih, Kematian. Dengarlah lagi : Aku punya seorang putra tunggal yang kusayangi, dialah biji mataku. Ambillah dia juga, tapi tinggalkan diriku sendirian."

Sang Maut itu menggeram, engkau tidak kaya tapi orang miskin yang tak tahu diri. Kemudian Maut mengambil tangan orang itu, mencabut kehidupannya, dan memberikannya kepada para malaikat di langit untuk memeriksanya.

Dan maut berjalan perlahan di antara orang-orang miskin hingga ia mencapai rumah paling kumuh yang ia temukan. Ia masuk dan mendekati ranjang di mana tidur seorang pemuda dengan kelelapan yang damai. Maut menyentuh matanya, anak muda itu pun terjaga. Dan ketika melihat Sang Maut berdiri di sampingnya, ia berkata dengan suara penuh cinta dan harapan, "Aku di sini, wahai Sang Maut yang cantik. Sambutlah ruhku, impianku yang mengejawantah dan hakikat harapanku. Peluklah diriku, kekasih jiwaku, karena kau sangat penyayang dan tak kan meninggalkan diriku di sini. Kaulah utusan Ilahi, kaulah tangan kanan kebenaran. Jangan tinggalkan daku."

"Aku telah memanggilmu berulang kali, namun kau tak mendengarkan. Tapi kini kau telah mendengarku, karena itu jangan kecewakan cintaku dengan peng-elakan diri. Peluklah ruhku, Sang Maut terkasih."

Kemudian Sang Maut meletakkan jari-jari lembutnya ke atas bibir yang bergetar itu, mencabut nyawanya, dan menaruhnya di bawah sayap-sayapnya.

Ketika ia naik kembali ke langit, Maut menoleh ke belakang -- ke dunia -- dan dalam bisikan ia berkata, "Hanya mereka yang di dunia mencari Keabadian-lah yang sampai ke Keabadian itu."

(dari "Kelopak-Kelopak Jiwa" - Gibran Khalil Gibran)

DARI PETIKAN SANG NABI (THE PROPHET)

Batas 12

Seorang ahli hukum menyusul bertanya;
Dan bagaimana tentang undang-undang kita?

Dijawabnya;
Kalian senang meletakkan perundangan,
namun lebih senang lagi melakukan perlanggaran,

Bagaikan kanak-kanak yang asyik bermain di tepi pantai,
yang penuh kesungguhan menyusun pasir jadi menara,
kemudian menghancurkannya sendiri,
sambil gelak tertawa ria.

Tapi,
selama kau sedang sibuk menyusun menara pasirmu,
sang laut menghantarkan lebih banyak lagi pasir ke tepi,

Dan pada ketika kau menghancurkan menara buatanmu,
sang laut pun turut tertawa bersamamu.

Sesungguhnya,
samudera sentiasa ikut tertawa,
bersama mereka yang tanpa dosa.

Tapi bagaimanakah mereka,
yang menganggap kehidupan bukan sebagai samudera,
dan melihat undang-undang buatannya sendiri,
bukan ibarat menara pasir?

Merekalah yang memandang kehidupan,
laksana sebungkal batu karang,
dan undang-undang menjadi pahatnya,
untuk memberinya bentuk ukiran,
menurut selera manusia,
sesuai hasrat kemahuan.

Bagaimana dia,
si timpang yang membenci para penari?

Bagaimana pula kerbau yang menyukai bebannya,
dam mencemooh kijang,
menamakannya hewan liar tiada guna?

Lalu betapa ular tua,
yang tak dapat lagi menukar kulitnya,
dan karena itu menyebut ular lain sebagai telanjang,
tak kenal susila?

Ada lagi dia,
yang pagi- pagi mendatangi pesta,
suatu keramaian perkawinan,
kemudian setelah kenyang perutnya,
dengan badan keletihan,
meninggalkan keramaian dengan umpatan,
menyatakan semua pesta sebagai suatu kesalahan,
dan semua terlibat melakukan kesalahan belaka.

Apalah yang kukatakan tentang mereka,
kecuali bahwa memang mereka berdiri di bawah sinar mentari,
namun berpaling wajah, dan punggung mereka membelakangi?

Mereka hanya melihat bayangannya sendiri,
dan bayangan itulah menjadi undang-undangnya.

Apakah arti sang surya bagi mereka,
selain sebuah pelempar bayangan?

Dan apakah kepatuhan hukum baginya,
selain terbongkok dan melata di atas tanah,
mencari dan menyelusuri bayangan sendiri?

Tapi kau,
yang berjalan menghadapkan wajah ke arah mentari,
bayangan apa di atas tanah,
yang dapat menahanmu?

Kau yang mengembara di atas angin,
kincir mana yang mampu memerintahkan arah perjalananmu,
hukum mana yang mengikatmu,
bila kau patahkan pikulanmu,
tanpa memukulnya pada pintu penjara orang lain?

Hukum apa yang kau takuti,
jikalau kau menari-nari,
tanpa kakimu tersadung belenggu orang lain?

Dan siapakah dia yang menuntutmu,
bila kau mencampakkan pakaianmu,
tanpa melemparkannya di jalan orang lain?

Rakyat Orphalese,
kalian mungkin mampu memukul gendang,
dan kalian dapat melonggarkan tali kecapi,
namun katakan,
siapakah yang dapat menghalangi,
burung pipit untuk menyanyi.

Batas 13

Seorang ahli pidato maju ke depan;
bertanyakan masalah kebebasan.

Dia mendapat jawaban;
Telah kusaksikan,
di gerbang kota maupun dekat tungku perapian,
engkauu bertekuk lutut memuja Sang Kebebasan.

Laksana hamba budak merendahkan diri di depan sang tuan,
si zalim yang disanjung puja,
walaupun dia hendak menikam.

Ya, sampaipun di relung-relung candi,
dan keteduhan pusat kota,
kulihat yang paling bebas pun diantara kalian,
mengendong kebebasannya laksana pikulan,
mengenakannya seperti besi pembelenggu tangan.

Hatiku menitikkan darah dalam dada,
karena kutahu,
bahwa kau hanya dapat bebas sepenuhnya,
apabila kau dapat menyadari;
bahwa keinginan untuk kebebasan pun,
merupakan sebentuk belenggu jiwamu.

Hanya jikalau kau pada akhirnya,
berhenti bicara tentang Kebebasan,
sebagai suatu tujuan dan sebuah hasil perbincangan,
maka kau akan bebas,
bila hari-hari tiada kosong dari beban pikiran,
dan malam-malammu tiada sepi dari kekurangan dan kesedihan.

Bahkan justru Kebebasanmu berada dalam rangkuman beban hidup ini,
tetapi yang berhasil engkau atasi,
dan jaya kau tegak menjulang tinggi,
sempurna, terlepas segala tali-temali.

Dan bagaimana kau akan bangkit,
mengatasi hari dan malammu,
apabila kau tak mematahkan belenggu ikatan,
yang di pagi pengalamanmu,
telah engkau kaitkan pada ketinggian tengah harimu?

Sesungguhnyalah,
apa yang kau namai Kebebasan,
tak lain dari mata terkuat diantara mata rantai belenggumu,
walau kilaunya gemerlap cemerlang di sinar surya,
serta menyilaukan pandang matamu.

Dan sadarkah engkau,
apa yang akan kau lepaskan itu?
tiada lain adalah cebir dari dirimu,
jikalau kau hendak mencapai kebebasan yang kau rindu.

Apabila yang akan kau buang itu,
suatu hukum yang tak adil,
akuilah bahwa dia telah kau tulis dengan tanganmu sendiri,
serta kau pahatkan diatas permukaan keningmu.

Mustahil kau akan menghapusnya,
dengan hanya membakar kitab-kitab hukummu,
tak mungkin pula dengan cara membasuh kening para hakimmu,
walau air seluruh lautan kaucurahkan untuk itu.

Apabila seorang zalim yang hendak kau tumbangkan,
usahakanlah dahulu,
agar kursi tahtanya yang kau tegakkan di hatimu,
kau cabut akarnya sebelum itu.

Sebab bagaimanakah seorang zalim,
dapat memerintah orang bebas dan punya harga diri,
jika bukan engkau sendiri membiarkannya,
menodai kebebasan yang kau junjung tinggi,
mencorengkan arang pada harkat martabat kemanusiaanmu peribadi?

Apabila suatu beban kesusahan yang hendak kautanggalkan,
maka ingatlah bahwa beban itu telah pernah menjadi pilihanmu,
bukannya telah dipaksakan diatas pundakmu.

Bilamana ketakutan yang ingin kau hilangkan,
maka perasaan ngeri itu bersarang di hatimu,
bukannya berada pada dia yang kau takuti.

Sebenarnyalah, segalanya itu bergetar dalam diri,
dalam rangkulan setengah terkatup, yang abadi;
antara;
yang kauinginkan dan yang kau takuti,
yang memuakkan dan yang kausanjung puji,
yang kaukejar-kejar dan yang hendak kau tinggal pergi.

Kesemuanya itu hadir dalam dirimu selalu,
bagaikan Sinar dan Bayangan,
dalam pasangan-pasangan,
yang lestari berpelukan.

Dan apabila sang bayangan menjadi kabur, melenyap hilang,
maka sinar yang tinggal, wujudlah bayangan baru,
bagi sinar yang lain;
demikianlah selalu.

Seperti itulah pekerti Kebebasan,
apabila ia kehilangan pengikatnya yang lama,
maka ia sendirilah menjadi pengikat baru,
bagi Kebebasan yang lebih agung,
sentiasa.

CIUMAN PERTAMA

Itulah tegukan pertama dari cawan yang telah diisi oleh para dewa dari air pancuran cinta.
Itulah batas antara kebimbangan yang menghiburkan dan menyedihkan hati dengan takdir yang mengisinya dengan kebahagiaan.
Itulah baris pembuka dari suatu puisi kehidupan , bab pertama dari suatu novel tentang manusia.
Itulah tali yang menghubungkan pengasingan masa lalu dengan kejayaan masa depan.

Ciuman pertama menyatukan keheningan perasaan-perasaan dengan nyanyian-nyanyiannya.
Itulah satu kata yang diucapkan oleh sepasang bibir yang menyatukan hati sebagai singgasana, cinta sebagai raja, kesetiaan sebagai mahkota.

Itulah sentuhan lembut yang mengungkapkan bagaimana jari-jemari angin mencumbui mulut bunga mawar, mempesonakan desah nafas kenikmatan panjang dan rintihan manis nan lirih.
Itulah permulaan getaran-getaran yang memisahkan kekasih dari dunia ruang dan matra dan membawa mereka kepada ilham dan impian-impian.

Ia memadukan taman bunga berbentuk bintang-bintang dengan bunga buah delima, menyatukan dua aroma untuk melahirkan jiwa ketiga.

Jika pandangan pertama adalah seperti benih yang ditaburkan para dewa di ladang hati manusia, maka ciuman pertama mengungkapkan bunga pertama yang mekar pada ranting pohon cabang pertama kehidupan.

CINTA (III)

Kemarin aku berdiri berdekatan pintu gerbang sebuah rumah ibadat dan bertanya kepada manusia yang lalu-lalang di situ tentang misteri dan kesucian cinta.
Seorang lelaki setengah baya menghampiri, tubuhnya rapuh wajahnya gelap. Sambil mengeluh dia berkata, "Cinta telah membuat suatu kekuatan menjadi lemah, aku mewarisinya dari Manusia Pertama."

Seorang pemuda dengan tubuh kuat dan besar menghampiri. Dengan suara bagai menyanyi dia berkata, "Cinta adalah sebuah ketetapan hati yang ditumbuhkan dariku, yang rnenghubungkan masa sekarang dengan generasi masa lalu dan generasi yang akan datang.'

Seorang wanita dengan wajah melankolis menghampiri dan sambil mendesah, dia berkata, 'Cinta adalah racun pembunuh, ular hitam berbisa yang menderita di neraka, terbang melayang dan berputar-putar menembusi langit sampai ia jatuh tertutup embun, ia hanya akan diminum oleh roh-roh yang haus. Kemudian mereka akan mabuk untuk beberapa saat, diam selama satu tahun dan mati untuk selamanya.'

Seorang gadis dengan pipi kemerahan menghampiri dan dengan tersenyum dia berkata, "Cinta itu laksana air pancuran yang digunakan roh pengantin sebagai siraman ke dalam roh orang-orang yang kuat, membuat mereka bangkit dalam doa di antara bintang-bintang di malam hari dan senandung pujian di depan matahari di siang hari.'

Setelah itu seorang lelaki menghampiri. Bajunya hitam, janggutnya panjang dengan dahi berkerut, dia berkata, "Cinta adalah ketidakpedulian yang buta. la bermula dari penghujung masa muda dan berakhir pada pangkal masa muda.'

Seorang lelaki tampan dengan wajah bersinar dan dengan bahagia berkata, 'Cinta adalah pengetahuan surgawi yang menyalakan mata kita. Ia menunjukkan segala sesuatu kepada kita seperti para dewa melihatnya.'

Seorang bermata buta menghampiri, sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke tanah dan dia kemudian berkata sambil menangis, 'Cinta adalah kabus tebal yang menyelubungi gambaran sesuatu darinya atau yang membuatnya hanya melihat hantu dari nafsunya yang berkelana di antara batu karang, tuli terhadap suara-suara dari tangisnya sendiri yang bergema di lembah-lembah.'

Seorang pemuda, dengan membawa sebuah gitar menghampiri dan menyanyi, 'Cinta adalah cahaya ghaib yang bersinar dari kedalaman kehidupan yang peka dan mencerahkan segala yang ada di sekitarnya. Engkau bisa melihat dunia bagai sebuah perarakan yang berjalan melewati padang rumput hijau. Kehidupan adalah bagai sebuah mimpi indah yang diangkat dari kesedaran dan kesedaran.'

Seorang lelaki dengan badan bongkok dan kakinya bengkok bagai potongan-potongan kain menghampiri. Dengan suara bergetar, dia berkata, "Cinta adalah istirahat panjang bagi raga di dalam kesunyian makam, kedamaian bagi jiwa dalam kedalaman keabadian.’

Seorang anak kecil berumur lima tahun menghampiri dan sambil tertawa dia berkata, "Cinta adalah ayahku, cinta adalah ibuku. Hanya ayah dan ibuku yang mengerti tentang cinta."

Waktu terus berjalan. Manusia terus-menerus melewati rumah ibadat. Masing-masing mempunyai pandangannya tersendiri tentang cinta. Semua menyatakan harapan-harapannya dan mengungkapkan misteri-misteri kehidupannya.

CINTA (II)

Mereka berkata tentang serigala dan tikus
Minum di sungai yang sama
Di mana singa melepas dahaga

Mereka berkata tentang helang dan hering
Menghujam paruhnya ke dalam bangkai yg sama
Dan berdamai - di antara satu sama lain,
Dalam kehadiran bangkai - bangkai mati itu

Oh Cinta, yang tangan lembutnya
mengekang keinginanku
Meluapkan rasa lapar dan dahaga
akan maruah dan kebanggaan,
Jangan biarkan nafsu kuat terus menggangguku
Memakan roti dan meminum anggur
Menggoda diriku yang lemah ini
Biarkan rasa lapar menggigitku,
Biarkan rasa haus membakarku,
Biarkan aku mati dan binasa,
Sebelum kuangkat tanganku
Untuk cangkir yang tidak kau isi,
Dan mangkuk yang tidak kau berkati
(Dari 'The Forerunner))

CINTA I

CINTA

Lalu berkatalah Almitra, Bicaralah pada kami perihal Cinta.

Dan dia mengangkatkan kepalanya dan memandang ke arah kumpulan manusia itu, dan keheningan menguasai mereka. Dan dengan suara lantang dia berkata:

APabila cinta memberi isyarat kepadamu, ikutilah dia,
Walau jalannya sukar dan curam.
Dan apabila sayapnya memelukmu menyerahlah kepadanya.
Walau pedang tersembunyi di antara ujung-ujung sayapnya bisa melukaimu.
Dan kalau dia berbicara padamu percayalah padanya.
Walau suaranya bisa menggetar mimpi-mimpimu bagai angin utara membinasakan taman.
Kerana sebagaimana cinta memahkotai engkau, demikian pula dia akan menghukummu.
Sebagaimana dia ada untuk menyuburkanmu, demikian pula dia ada untuk mencantasmu.

Sebagaimana dia mendaki ke puncakmu dan membelai mesra ranting-ranting lembutmu yang bergetar dalam cahaya matahari.
Demikian pula dia akan menghunjam ke akarmu dan menggegarkannya di dalam pautanmu pada bumi.
Laksana selonggok jagung dia menghimpun engkau pada dirinya.

Dia menghempuk engkau hingga kau telanjang
Dia mengasing-asingkan kau demi membebaskan engkau dari kulitmu.
Dia menggosok-gosok engkau sampai putih bersih.
Dia meramas engkau hingga kau menjadi lembut;
Dan kemudian dia mengangkat engkau ke api sucinya sehingga engkau bisa menjadi hidangan suci untuk pesta kudus Tuhan.

Semua ini akan ditunaikan padamu oleh Sang Cinta, supaya bisa kau pahami rahasia hatimu, dan di dalam pemahaman dia menjadi sekeping hati Kehidupan.

Namun apabila dalam ketakutanmu kau hanya akan mencari kedamaian dan kenikmatan cinta.

Maka lebih baiklah bagimu untuk menutupi tubuhmu dan melangkah keluar dari lantai-penebah cinta.

Memasuki dunia tanpa musim tempat kau dapat tertawa, tapi tak seluruh gelak tawamu, dan menangis, tapi tak sehabis semua airmatamu.

Cinta tak memberikan apa-apa kecuali dirinya sendiri dan tiada mengambil apa-apa pun kecuali dari dirinya sendiri.
Cinta tiada memiliki, pun tiada ingin dimiliki;
Karena cinta telah cukup bagi cinta.

Apabila kau mencintai kau takkan berkata, "Tuhan ada di dalam hatiku," tapi sebaliknya, "Aku berada di dalam hati Tuhan."

Dan jangan mengira ka udapat mengarahkan jalannya Cinta, sebab cinta,apabila dia menilaimu memang pantas, mengarahkan jalanmu.

Cinta tak menginginkan yang lain kecuali memenuhi dirinya. Namun apabila kau mencintai dan memerlukan kegairahan, biarlah ini menjadi kegairahanmu:

Luluhkan dirimu dan mengalirlah bagaikan anak sungai, yang menyanyikan alunannnya bagai sang malam.

Kenalilah penderitaan dari kelembutan yang begitu jauh.
Rasa dilukai akibat pemahamanmu sendiri tentang cinta;
Dan menitiskan darah dengan ikhlas dan gembira.
Terjaga di kala fajar dengan hati berawangan dan mensyukuri hari baru penuh cahaya kasih;

Istirahat di kala siang dan merenungkan kegembiraan cinta yang meluap-luap;

Kembali ke rumah di kala senja dengan rasa syukur;

Dan kemudian tidur bersama doa bagi kekasih di dalam hatimu dan sekuntum nyanyian puji-pujian pada bibirmu.

(Dari 'Sang Nabi')

BANGSA KASIHAN

Kasihan bangsa yang memakai pakaian yang tidak ditenunnya,
memakan roti dari gandum yang tidak dituainya
dan meminum anggur yang tidak diperasnya

Kasihan bangsa yang menjadikan orang bodoh menjadi pahlawan,
dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah.

Kasihan bangsa yang meremehkan nafsu dalam mimpi-mimpinya ketika tidur, sementara menyerah padanya ketika bangun.

Kasihan bangsa yang tidak pernah angkat suara
kecuali jika sedang berjalan di atas kuburan,
tidak sesumbar kecuali di runtuhan,
dan tidak memberontak kecuali ketika lehernya
sudah berada di antara pedang dan landasan.

Kasihan bangsa yang negarawannya serigala,
falsafahnya karung nasi,
dan senimannya tukang tambal dan tukang tiru.

Kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya
dengan trompet kehormatan namun melepasnya dengan cacian,
hanya untuk menyambut penguasa baru lain dengan trompet lagi.

Kasihan bangsa yang orang sucinya dungu
menghitung tahun-tahun berlalu
dan orang kuatnya masih dalam gendongan.

Kasihan bangsa yang berpecah-belah,
dan masing-masing mengangap dirinya sebagai satu bangsa.

BAGI SAHABATKU YANG TERTINDAS

Wahai engkau yang dilahirkan di atas ranjang kesengsaraan, diberi makan pada dada penurunan nilai, yang bermain sebagai seorang anak di rumah tirani, engkau yang memakan roti basimu dengan keluhan dan meminum air keruhmu bercampur dengan airmata yang getir.

Wahai askar yang diperintah oleh hukum yang tidak adil oleh lelaki yang meninggalkan isterinya, anak-anaknya yang masih kecil, sahabat-sahabatnya, dan memasuki gelanggang kematian demi kepentingan cita-cita, yang mereka sebut 'keperluan'.

Wahai penyair yang hidup sebagai orang asing di kampung halamannya, tak dikenali di antara mereka yang mengenalinya, yang hanya berhasrat untuk hidup di atas sampah masyarakat dan dari tinggalan atas permintaan dunia yang hanya tinta dan kertas.

Wahai tawanan yang dilemparkan ke dalam kegelapan kerana kejahatan kecil yang dibuat seumpama kejahatan besar oleh mereka yang membalas kejahatan dengan kejahatan, dibuang dengan kebijaksanaan yang ingin mempertahankan hak melalui cara-cara yang keliru.

Dan engkau, Wahai wanita yang malang, yang kepadanya Tuhan menganugerahkan kecantikan. Masa muda yang tidak setia memandangnya dan mengekorimu, memperdayakan engkau, menanggung kemiskinanmu dengan emas. Ketika kau menyerah padanya, dia meninggalkanmu. Kau serupa mangsa yang gementar dalam cakar-cakar penurunan nilai dan keadaan yang menyedihkan.

Dan kalian, teman-temanku yang rendah hati, para martir bagi hukum buatan manusia. Kau bersedih, dan kesedihanmu adalah akibat dari kebiadaban yang hebat, dari ketidakadilan sang hakim, dari licik si kaya, dan dari keegoisan hamba demi hawa nafsunya

Jangan putus asa, kerana di sebalik ketidakadilan dunia ini, di balik persoalan, di balik awan gemawan, di balik bumi, di balik semua hal ada suatu kekuatan yang tak lain adalah seluruh kadilan, segenap kelembutan, semua kesopanan, segenap cinta kasih.

Engkau laksana bunga yang tumbuh dalam bayangan. Segera angin yang lembut akan bertiup dan membawa bijianmu memasuki cahaya matahari tempat mereka yang akan menjalani suatu kehidupan indah.

Engkau laksana pepohonan telanjang yang rendah kerana berat dan bersama salju musim dingin. Lalu musim bunga akan tiba menyelimutimu dengan dedaunan hijau dan berair banyak.

Kebenaran akan mengoyak tabir airmata yang menyembunyikan senyumanmu. Saudaraku, kuucapkan selamat datang padamu dan kuanggap hina para penindasmu.

ANTARA PAGI DAN MALAM HARI

TENANGLAH hatiku, karena langit pun tak mendengarkan
Tenanglah, karena bumi dibebani dengan ratapan kesedihan.
Dia takkan melahirkan melodi dan nyanyianmu.
Tenanglah, kerana roh-roh malam tak menghiraukan bisikan rahasiamu, dan bayang-bayang tak berhenti dihadapan mimpi-mimpi.
Tenanglah, hatiku. Tenanglah hingga fajar tiba, kerana dia yang menanti pagi dengan sabar akan menyambut pagi dengan kekuatan. Dia yang mencintai cahaya, dicintai cahaya.
Tenanglah hatiku, dan dengarkan ucapanku.

DALAM mimpi aku melihat seekor murai menyanyi saat dia terbang di atas kawah gunung berapi yang meletus.
Kulihat sekuntum bunga Lili menyembulkan kelopaknya di balik salju.
Kulihat seorang bidadari telanjang menari-menari di antara batu-batu kubur.
Kulihat seorang anak tertawa sambil bermain dengan tengkorak-tengkorak.
Kulihat semua makhluk ini dalam sebuah mimpi. Ketika aku terjaga dan memandang sekelilingku, kulihat gunung berapi memuntahkan nyala api, tapi tak kudengar murai bernyanyi, juga tak kulihat dia terbang.
Kulihat langit menaburkan salju di atas padang dan lembah, dilapisi warna putih mayat dari bunga lili yang membeku.
Kulihat kuburan-kuburan, berderet-deret, tegak di hadapan zaman-zaman yang tenang. Tapi tak satu pun kulihat di sana yang bergoyang dalam tarian, juga tidak yang tertunduk dalam doa.
Saat terjaga, kulihat kesedihan dan kepedihan; ke manakah perginya kegembiraan dan kesenangan impian?
Mengapa keindahan mimpi lenyap, dan bagaimana gambaran-gambarannya menghilang? Bagaimana mungkin jiwa tertahan sampai sang tidur membawa kembali roh-roh dari hasrat dan harapannya?

DENGARLAH hatiku, dan dengarlah ucapanku.
Semalam jiwaku adalah sebatang pohon yang kukuh dan tua, menghunjam akar-akarnya ke dasar bumi dan cabang-cabangnya mencekau ke arah yang tak terhingga.
Jiwaku berbunga di musim bunga, memikul buah pada musim panas. Pada musim gugur kukumpulkan buahnya di mangkuk perak dan kuletakkannya di tengah jalan. Orang-orang yang lalu lalang mengambil dan memakannya, serta meneruskan perjalanan mereka.

KALA musim gugur berlalu dan gita pujinya bertukar menjadi lagu kematian dan ratapan, kudapati semua orang telah meninggalkan diriku kecuali satu-satunya buah di talam perak.
Kuambil ia dan memakannya, dan merasakan pahitnya bagai kayu gaharu, masam bak anggur hijau.
Aku berbicara dalam hati,"Bencana bagiku, karena telah kutempatkan sebentuk laknat di dalam mulut orang-orang itu, dan permusuhan dalam perutnya.
" Apa yang telah kaulakukan, jiwaku, dengan kemanisan akar-akarmu itu yang telah meresap dari usus besar bumi, dengan wangian daun-daunmu yang telah meneguk cahaya matahari?"
Lalu kucabut pohon jiwaku yang kukuh dan tua.
Kucabut akarnya dari tanah liat yang di dalamnya dia telah bertunas dan tumbuh dengan subur. Kucabut akar dari masa lampaunya, menanggalkan kenangan seribu musim bunga dan seribu musim gugur.
Dan kutanam sekali lagi pohon jiwaku di tempat lain.
Kutanam dia di padang yang tempatnya jauh dari jalan-jalan waktu. Kulewatkan malam dengan terjaga di sisinya, sambil berkata,"Mengamati bersama malam yang membawa kita mendekati kerlipan bintang."
Aku memberinya minum dengan darah dan airmataku, sambil berkata,"Terdapat sebentuk keharuman dalam darah, dan dalam airmata sebentuk kemanisan."
Tatkala musim bunga tiba, jiwaku berbunga sekali lagi.

PADA musim panas jiwaku menyandang buah. Tatkala musim gugur tiba, kukumpulkan buah-buahnya yang matang di talam emas dan kuletakkan di tengah jalan. Orang-orang melintas, satu demi satu atau dalam kelompok-kelompok, tapi tak satu pun menghulurkan tangannya untuk mengambil bahagiannya.
Lalu kuambil sebuah dan memakannya, merasakan manisnya bagai madu pilihan, lezat seperti musim bunga dari surga, sangat menyenangkan laksana anggur Babylon, wangi bak wangi-wangian dari melati.
Aku menjerit,"Orang-orang tak menginginkan rahmat pada mulutnya atau kebenaran dalam usus mereka, kerana rahmat adalah puteri airmata dan kebenaran putera darah!"
Lalu aku beralih dan duduk di bawah bayangan pohon sunyi jiwaku di sebuah padang yang tempatnya jauh dari jalan waktu.

TENANGLAH, hatiku, hingga fajar tiba.
Tenanglah, kerana langit menghembus bau amis kematian dan tak bisa meminum nafasmu.
Dengarkan, hatiku, dan dengarkan aku bicara.
Semalam pikiranku adalah kapal yang terumbang-ambing oleh gelombang laut dan digerakkan oleh angin dari pantai ke pantai
Kapal pikiranku kosong kecuali untuk tujuh cawan yang dilimpahi dengan warna-warna, gemilang berwarna-warni.
Sang waktu datang kala aku merasa jemu terapung-apungan di atas permukaan laut dan berkata,
"Aku akan kembali ke kapal kosong pikiranku menuju pelabuhan kota tempat aku dilahirkan."
Tatkala kerjaku selesai, kapal pikiranku
Aku mulai mengecat sisi-sisi kapalku dengan warna-warni - kuning matahari terbenam, hijau musim bunga baru, biru kubah langit, merah senjakala yang menjadi kecil. Pada layar dan kemudinya kuukirkan susuk-susuk menakjubkan, menyenangkan mata dan menyenangkan penglihatan.
Tatkala kerjaku selesai, kapal pikiranku laksana pandangan luas seorang nabi, berputar dalam ketidakterbatasan laut dan langit. Kumasuki pelabuhan kotaku, dan orang muncul menemuiku dengan pujian dan rasa terima kasih. Mereka membawaku ke dalam kota, memukul gendang dan meniup seruling.
Ini mereka lakukan karana bagian luar kapalku yang dihias dengan cemerlang, tapi tak seorang pun masuk ke dalam kapal pikiranku.
Tak seorang pun bertanya apakah yang kubawa dari seberang lautan
Tak seorang pun tahu kenapa aku kembali dengan kapal kosongku ke pelabuhan.
Lalu kepada diriku sendiri, aku berkata,"Aku telah menyesatkan orang-orang, dan dengan tujuh cawan warna telah kudustai mata mereka"

Setelah setahun aku menaiki kapal pikiranku dan kulayari di laut untuk kedua kalinya.
Aku berlayar menuju pulau-pulau timur, dan mengisi kapalku dengan dupa dan kemenyan, pohon gaharu dan kayu cendana.
Aku berlayar menuju pulau-pulau barat, dan membawa bijih emas dan gading, batu merah delima dan zamrud, dan sulaman serta pakaian warna merah lembayung.
Dari pulau-pulau selatan aku kembali dengan rantai dan pedang tajam, tombak-tombak panjang, serta beraneka jenis senjata.
Aku mengisi kapal pikiranku dengan harta benda dan barang-barang hasil bumi dan kembali ke pelabuhan kotaku, sambil berkata, "Orang-orangku pasti akan memujiku, memang sudah pastinya. Mereka akan menggendongku ke dalam kota sambil menyanyi dan meniup trompet"
Tapi ketika aku tiba di pelabuhan, tak seorangpun keluar menemuiku. Ketika kumasuki jalan-jalan kota, tak seorang pun memerhatikan diriku.
Aku berdiri di alun-alun sambil mengutuk pada orang-orang bahwa aku membawa buah dan kekayaan bumi. Mereka memandangku, mulutnya penuh tawa, cemoohan pada wajah mereka. Lalu mereka berpaling dariku.
Aku kembali ke pelabuhan, kesal dan bingung. Tak lama kemudian aku melihat kapalku. Maka aku melihat perjuangan dan harapan dari perjalananku yang menghalangi perhatianku. Aku menjerit.
Gelombang laut telah mencuri cat dari sisi-sisi kapalku, tak meninggalkan apa pun kecuali tulang belulang yang bertaburan.
Angin, badai dan terik matahari telah menghapus lukisan-lukisan dari layar, memudarkan ia seperti pakaian berwarna kelabu dan usang.
Kukumpulkan barang-barang hasil dan kekayaan bumi ke dalam sebuah perahu yang terapung di atas permukaan air. Aku kembali ke orang-orangku, tapi mereka menolak diriku karena mata mereka hanya melihat bagian luar.
Pada saat itu kutinggalkan kapal pikiranku dan pergi ke kota kematian. Aku duduk di antara kuburan-kuburan yang bercat kapur, merenungkan rahasia-rahasianya.

TENANGLAH, hatiku, hingga fajar tiba.
Tenanglah, meskipun prahara yang mengamuk mencerca bisikan-bisikan batinmu, dan gua-gua lembah takkan menggemakan bunyi suaramu.
Tenanglah, hatiku, hingga fajar tiba. Karena dia yang menantikan dengan sabar hingga fajar, pagi hari akan memeluknya dengan semangat.
NUN di sana! Fajar merekah, hatiku. Bicaralah, jika kau mampu bicara!
Itulah arak-arakan sang fajar, hatiku! Akankah hening malam melumpuhkan kedalaman hatimu yang menyanyi menyambut fajar?
Lihatlah kawanan merpati dan burung murai melayang di atas lembah. Akankah kengerian malam menghalangi engkau untuk menduduki sayap bersama mereka?
Para pengembala memandu kawanan dombanya dari tempat ternak dan kandang.
Akankah roh-roh malam menghalangimu untuk mengikuti mereka ke padang rumput hijau?
Anak lelaki dan perempuan bergegas menuju kebun anggur. Kenapa kau tak beranjak dan berjalan bersama mereka?
Bangkitlah, hatiku, bangkit dan berjalan bersama fajar, kerana malam telah berlalu. Ketakutan malam lenyap bersama mimpi gelapnya.
Bangkitlah, hatiku, dan lantangkan suaramu dalam nyanyian, karena hanya anak-anak kegelapan yang gagal menyatu ke dalam nyanyian sang fajar.

ANTARA PAGI DAN MALAM HARI


TENANGLAH hatiku, karena langit tak pun mendengarkan
Tenanglah, karena bumi dibebani dengan ratapan kesedihan.
Dia takkan melahirkan melodi dan nyanyianmu.
Tenanglah, kerana roh-roh malam tak menghiraukan bisikan rahasiamu, dan bayang-bayang tak berhenti dihadapan mimpi-mimpi.
Tenanglah, hatiku. Tenanglah hingga fajar tiba, kerana dia yang menanti pagi dengan sabar akan menyambut pagi dengan kekuatan. Dia yang mencintai cahaya, dicintai cahaya.
Tenanglah hatiku, dan dengarkan ucapanku.

DALAM mimpi aku melihat seekor murai menyanyi saat dia terbang di atas kawah gunung berapi yang meletus.
Kulihat sekuntum bunga Lili menyembulkan kelopaknya di balik salju.
Kulihat seorang bidadari telanjang menari-menari di antara batu-batu kubur.
Kulihat seorang anak tertawa sambil bermain dengan tengkorak-tengkorak.
Kulihat semua makhluk ini dalam sebuah mimpi. Ketika aku terjaga dan memandang sekelilingku, kulihat gunung berapi memuntahkan nyala api, tapi tak kudengar murai bernyanyi, juga tak kulihat dia terbang.
Kulihat langit menaburkan salju di atas padang dan lembah, dilapisi warna putih mayat dari bunga lili yang membeku.
Kulihat kuburan-kuburan, berderet-deret, tegak di hadapan zaman-zaman yang tenang. Tapi tak satu pun kulihat di sana yang bergoyang dalam tarian, juga tidak yang tertunduk dalam doa.
Saat terjaga, kulihat kesedihan dan kepedihan; ke manakah perginya kegembiraan dan kesenangan impian?
Mengapa keindahan mimpi lenyap, dan bagaimana gambaran-gambarannya menghilang? Bagaimana mungkin jiwa tertahan sampai sang tidur membawa kembali roh-roh dari hasrat dan harapannya?

DENGARLAH hatiku, dan dengarlah ucapanku.
Semalam jiwaku adalah sebatang pohon yang kukuh dan tua, menghunjam akar-akarnya ke dasar bumi dan cabang-cabangnya mencekau ke arah yang tak terhingga.
Jiwaku berbunga di musim bunga, memikul buah pada musim panas. Pada musim gugur kukumpulkan buahnya di mangkuk perak dan kuletakkannya di tengah jalan. Orang-orang yang lalu lalang mengambil dan memakannya, serta meneruskan perjalanan mereka.

KALA musim gugur berlalu dan gita pujinya bertukar menjadi lagu kematian dan ratapan, kudapati semua orang telah meninggalkan diriku kecuali satu-satunya buah di talam perak.
Kuambil ia dan memakannya, dan merasakan pahitnya bagai kayu gaharu, masam bak anggur hijau.
Aku berbicara dalam hati,"Bencana bagiku, karena telah kutempatkan sebentuk laknat di dalam mulut orang-orang itu, dan permusuhan dalam perutnya.
" Apa yang telah kaulakukan, jiwaku, dengan kemanisan akar-akarmu itu yang telah meresap dari usus besar bumi, dengan wangian daun-daunmu yang telah meneguk cahaya matahari?"
Lalu kucabut pohon jiwaku yang kukuh dan tua.
Kucabut akarnya dari tanah liat yang di dalamnya dia telah bertunas dan tumbuh dengan subur. Kucabut akar dari masa lampaunya, menanggalkan kenangan seribu musim bunga dan seribu musim gugur.
Dan kutanam sekali lagi pohon jiwaku di tempat lain.
Kutanam dia di padang yang tempatnya jauh dari jalan-jalan waktu. Kulewatkan malam dengan terjaga di sisinya, sambil berkata,"Mengamati bersama malam yang membawa kita mendekati kerlipan bintang."
Aku memberinya minum dengan darah dan airmataku, sambil berkata,"Terdapat sebentuk keharuman dalam darah, dan dalam airmata sebentuk kemanisan."
Tatkala musim bunga tiba, jiwaku berbunga sekali lagi.

PADA musim panas jiwaku menyandang buah. Tatkala musim gugur tiba, kukumpulkan buah-buahnya yang matang di talam emas dan kuletakkan di tengah jalan. Orang-orang melintas, satu demi satu atau dalam kelompok-kelompok, tapi tak satu pun menghulurkan tangannya untuk mengambil bahagiannya.
Lalu kuambil sebuah dan memakannya, merasakan manisnya bagai madu pilihan, lezat seperti musim bunga dari surga, sangat menyenangkan laksana anggur Babylon, wangi bak wangi-wangian dari melati.
Aku menjerit,"Orang-orang tak menginginkan rahmat pada mulutnya atau kebenaran dalam usus mereka, kerana rahmat adalah puteri airmata dan kebenaran putera darah!"
Lalu aku beralih dan duduk di bawah bayangan pohon sunyi jiwaku di sebuah padang yang tempatnya jauh dari jalan waktu.

TENANGLAH, hatiku, hingga fajar tiba.
Tenanglah, kerana langit menghembus bau amis kematian dan tak bisa meminum nafasmu.
Dengarkan, hatiku, dan dengarkan aku bicara.
Semalam pikiranku adalah kapal yang terumbang-ambing oleh gelombang laut dan digerakkan oleh angin dari pantai ke pantai
Kapal pikiranku kosong kecuali untuk tujuh cawan yang dilimpahi dengan warna-warna, gemilang berwarna-warni.
Sang waktu datang kala aku merasa jemu terapung-apungan di atas permukaan laut dan berkata,
"Aku akan kembali ke kapal kosong pikiranku menuju pelabuhan kota tempat aku dilahirkan."
Tatkala kerjaku selesai, kapal pikiranku
Aku mulai mengecat sisi-sisi kapalku dengan warna-warni - kuning matahari terbenam, hijau musim bunga baru, biru kubah langit, merah senjakala yang menjadi kecil. Pada layar dan kemudinya kuukirkan susuk-susuk menakjubkan, menyenangkan mata dan menyenangkan penglihatan.
Tatkala kerjaku selesai, kapal pikiranku laksana pandangan luas seorang nabi, berputar dalam ketidakterbatasan laut dan langit. Kumasuki pelabuhan kotaku, dan orang muncul menemuiku dengan pujian dan rasa terima kasih. Mereka membawaku ke dalam kota, memukul gendang dan meniup seruling.
Ini mereka lakukan karana bagian luar kapalku yang dihias dengan cemerlang, tapi tak seorang pun masuk ke dalam kapal pikiranku.
Tak seorang pun bertanya apakah yang kubawa dari seberang lautan
Tak seorang pun tahu kenapa aku kembali dengan kapal kosongku ke pelabuhan.
Lalu kepada diriku sendiri, aku berkata,"Aku telah menyesatkan orang-orang, dan dengan tujuh cawan warna telah kudustai mata mereka"

Setelah setahun aku menaiki kapal pikiranku dan kulayari di laut untuk kedua kalinya.
Aku berlayar menuju pulau-pulau timur, dan mengisi kapalku dengan dupa dan kemenyan, pohon gaharu dan kayu cendana.
Aku berlayar menuju pulau-pulau barat, dan membawa bijih emas dan gading, batu merah delima dan zamrud, dan sulaman serta pakaian warna merah lembayung.
Dari pulau-pulau selatan aku kembali dengan rantai dan pedang tajam, tombak-tombak panjang, serta beraneka jenis senjata.
Aku mengisi kapal pikiranku dengan harta benda dan barang-barang hasil bumi dan kembali ke pelabuhan kotaku, sambil berkata, "Orang-orangku pasti akan memujiku, memang sudah pastinya. Mereka akan menggendongku ke dalam kota sambil menyanyi dan meniup trompet"
Tapi ketika aku tiba di pelabuhan, tak seorangpun keluar menemuiku. Ketika kumasuki jalan-jalan kota, tak seorang pun memerhatikan diriku.
Aku berdiri di alun-alun sambil mengutuk pada orang-orang bahwa aku membawa buah dan kekayaan bumi. Mereka memandangku, mulutnya penuh tawa, cemoohan pada wajah mereka. Lalu mereka berpaling dariku.
Aku kembali ke pelabuhan, kesal dan bingung. Tak lama kemudian aku melihat kapalku. Maka aku melihat perjuangan dan harapan dari perjalananku yang menghalangi perhatianku. Aku menjerit.
Gelombang laut telah mencuri cat dari sisi-sisi kapalku, tak meninggalkan apa pun kecuali tulang belulang yang bertaburan.
Angin, badai dan terik matahari telah menghapus lukisan-lukisan dari layar, memudarkan ia seperti pakaian berwarna kelabu dan usang.
Kukumpulkan barang-barang hasil dan kekayaan bumi ke dalam sebuah perahu yang terapung di atas permukaan air. Aku kembali ke orang-orangku, tapi mereka menolak diriku karena mata mereka hanya melihat bagian luar.
Pada saat itu kutinggalkan kapal pikiranku dan pergi ke kota kematian. Aku duduk di antara kuburan-kuburan yang bercat kapur, merenungkan rahasia-rahasianya.

TENANGLAH, hatiku, hingga fajar tiba.
Tenanglah, meskipun prahara yang mengamuk mencerca bisikan-bisikan batinmu, dan gua-gua lembah takkan menggemakan bunyi suaramu.
Tenanglah, hatiku, hingga fajar tiba. Karena dia yang menantikan dengan sabar hingga fajar, pagi hari akan memeluknya dengan semangat.
NUN di sana! Fajar merekah, hatiku. Bicaralah, jika kau mampu bicara!
Itulah arak-arakan sang fajar, hatiku! Akankah hening malam melumpuhkan kedalaman hatimu yang menyanyi menyambut fajar?
Lihatlah kawanan merpati dan burung murai melayang di atas lembah. Akankah kengerian malam menghalangi engkau untuk menduduki sayap bersama mereka?
Para pengembala memandu kawanan dombanya dari tempat ternak dan kandang.
Akankah roh-roh malam menghalangimu untuk mengikuti mereka ke padang rumput hijau?
Anak lelaki dan perempuan bergegas menuju kebun anggur. Kenapa kau tak beranjak dan berjalan bersama mereka?
Bangkitlah, hatiku, bangkit dan berjalan bersama fajar, kerana malam telah berlalu. Ketakutan malam lenyap bersama mimpi gelapnya.
Bangkitlah, hatiku, dan lantangkan suaramu dalam nyanyian, karena hanya anak-anak kegelapan yang gagal menyatu ke dalam nyanyian sang fajar.